Skip links

4 Manuskrip Ini Masuk WBTb

Menurut KBBI, manuskrip adalah naskah tulisan tangan yang menjadi kajian filologi. Manuskrip yang dikaji biasanya masih ada bendanya sampai sekarang. Manuskrip mencakup berbagai bidang bahasan seperti astronomi, filsafat, hukum, dan masih banyak lagi. Di Jawa Tengah sendiri ada beberapa manuskrip berupa serat atau kitab yang masih tersimpan dengan rapi. Berikut ini 4 manuskrip dari Jawa Tengah yang termasuk Warisan Budaya Takbenda (WBTb).

Serat Darmariwayat

Serat Darmariwayat tercatat oleh Kemendikbud sebagai warisan budaya pada 2010. Serat ini berada di Mangkunegaran, Surakarta. Serat tersebut merupakan koleksi perpustakaan Rekso Pustoko Mangkunegaran, Surakarta. Keadaan naskahnya cukup baik, dengan bertuliskan huruf Jawa berbahasa Jawa. Naskah Serat Darmariwayat berukuran 16 X 19,5 cm sebanyak 31 hal. Isi teksnya berbentuk tembang Dhandanggula sebanyak 58 bait. Serat Darmariwayat berisi ajaran luhur dan teladan tokoh masa lalu yang dapat dijadikan pedoman dalam bertingkah laku. Nilai yang terkandung dalam serat Darmariwayat yaitu nilai didaktik dan nilai filosofis. Nilai didaktik berisi kewajiban menuntut ilmu, etika, bekerja keras, etos kerja, teladan kisah masa lalu, sedangkan nilai filosofis berisi perumpamaan, sikap pasrah, kebijaksanaan, dan makna pancaindera. 

Baca juga: MENGENAL JAMU JAWA TENGAH

Serat Wulang Brata Sunu

Serat Wulang Brata Sunu tercatat  oleh Kemendikbud sebagai warisan budaya pada 2010. Serat Wulang Brata Sunu merupakan koleksi Perpustakaan Rekso Pustoko Mangkunegaran. Naskah itu memiliki 30 halaman dan berukuran 21 cm X 32,5 cm. Teks dalam tembang macapat berjumlah 6 pupuh : Pucung, Kinanthi, Gambuh, Sinom, Megatruh. Penulis Serat Wulang Brata Sunu adalah Raden Ngabehi Reksadipura pada tanggal 27 Besar 1771 atau 28 Januari 1843 M. Serat Wulang Brata Sunu berisi ajaran yang ditujukan kepada seorang anak yang pantas untuk dipelajari dan diterapkan pada masa sekarang. Serat tersebut berisi pesan-pesan yang mendidik yang sangat baik untuk diteladani. Serat Wulang Brata Sunu mempunyai arti. Dimana brata berarti tindak-tanduk atau perbuatan dan Sunu berarti adalah ajaran mengenai tingkah laku atau tindak-tanduk yang harus dipatuhi oleh seorang anak.

Baca juga: Langendriyan, Seni Pertunjukan dari Solo

Serat Tapel Adam Babad Luhung (manuskrip)

Serat tersebut dicatat oleh Kemendikbud sebagai warisan budaya pada tahun 2020. Serat Tapel Adam Babad Luhung berada di Museum Radyapustaka, Kota Surakarta, Jawa Tengah. Berisi sejarah islam, adanya penciptaan alam semesta hingga sejarah nabi-nabi sampai ke Islamisasi pada abad-15. Cerita mengenai 25 Nabi dan Rasul ada dalam kitab atau serat tersebut. Kitab itu sudah dialih aksarakan dari aksara Jawa ke huruf latin dan dialih bahasakan dari bahasa Jawa ke Bahasa Indonesia.

Gambar serat:

Baca juga: MENGENAL TARI GAMBYONG PAREANOM

Kitab Primbon Haji Syekh Imam Tabbri (Maulid Qashar)

Kitab Primbon Haji Syekh Imam Tabbri dicatat sebagai warisan budaya oleh Kemendikbud pada tahun 2019.  Kitab tersebut ditemukan di Sragen, Jawa Tengah. Manuskrip itu merupakan karya Haji Syekh Imam Tabbri (yang biasa disebut Haji Tabbri), seorang ulama asal Donoyudan, Kalijambe, Kabupaten Sragen yang selesai ditulis tahun 1857.

Foto Halaman 311-312 penggalan Serat Wicara Kêras karya Yasadipura II. Haji Tabbri mengutip penggalan serat Wicara Keras Karya Yasadipura II untuk memperkuat dasar argumen dari sikap politiknya yang mengkritisi pengaruh Hindia Belanda

Kitab itu adalah koleksi keluarga yang diwariskan dan kini dirawat Bp Achmad Wahyu Sudrajad, S.Hum, yakni generasi level V dari Haji Tabbri. Ahmad Wahyu Sudrajad. Manuskrip ini sudah tidak diketahui lagi judulnya. Namun secara turun temurun, penyebutan yang diberikan oleh pihak keluarga adalah ‘’Kitab Primbon Haji Syekh Imam Tabbri’’

Naskah karya Syekh Imam Haji Tabbri terbagi menjadi beberapa bagian: materi keagamaan untuk kepentingan dakwah Islam: maulid qashar, ketauhidan, kumpulan doa dan amalan-amalan, pengetahuan filsafat dan tasawuf; pengetahuan tentang ilmu falaq dan penanggalan Jawa; sikap poitik Haji Tabbri terhadap relasi kerajaan Surakarta dan pemerintah Kolonial Hindia Belanda: pada bagian ini Haji Tabbri mengutip penggalan serat Wicara Keras karya Yasadipura II.

 

 

Foto halaman 313-314 Terdapat iluminasi atau gambar ilustrasi dari dzikir toriqoh yang dituliskan dalam aksara Jawa.

Secara fisik, kondisi naskah sudah sedikit rapuh dan hampir keseluruhan teks pinggirnya rusak atau robek. Penyebab kerobekan kertas dimungkinkan karena lapuk atau hewan pemakan kertas, karena naskah ini pernah dikubur dalam tanah. Namun secara keseluruhan, tulisan masih bisa dibaca dengan baik. Hanya beberapa bagian kecil saja yang benar-benar tidak terbaca karena proses pelapukan. Teks ditulis pada kertas daluwang atau dikenal dengan dluwang, berukuran 23 cm x 19 cm, tidak bergaris. Naskah ini ditulis dengan menggunakan aksara Arab, Pegon, dan Jawa. Penomoran halaman ditambahkan kemudian sejumlah 367 untuk memudahkan melihat isi naskah. Jumlah baris per halaman bervariasi antara 5-11. Dalam naskah juga terdapat gambar pada halaman 310 dan 314.

Haji Tabbri adalah salah seorang ulama dari Surakarta yang masih keturunan Syekh Muhammad Khasan Besari pendiri Pondok Pesantren Gebang Tinatar Tegalsari Ponorogo. Pesantren itu menjadi penempa ksatria dan ulama. Tokoh-tokoh besar seperti Paku Buwono II, Pangeran Diponegoro, dan Ranggawarsita pernah mengenyam pendidikan di pesantren tersebut.

Namun, karena sikap kritisnya terhadap pengaruh Pemerintah Hindia Belanda dalam berbagai kebijakan Keraton Surakarta, Haji Tabbri dianggap ulama yang berbahaya. Haji Tabbri pun dikejar-kejar pihak Keraton dan Pemerintah kolonial sepanjang tahun 1840-1860 M. Akhirnya Haji Tabbri bersama keluarganya pindah ke tempat lebih aman yakni Blagungan, Desa Donoyudan (Kecamatan Kalijambe, Kabupaten Sragen).  Saat itu Blagungan masih termasuk wilayah Kaliyasa yaitu daerah pardikan Keraton Surakarta yang dipimpin oleh Syekh Abdul Jalal 1.

Baca juga: MENGENAL TEDHAK SITEN, TRADISI KELUARGA JAWA YANG EKSIS HINGGA KINI

Naskah kuno Haji Tabbri untuk saat ini merupakan satu-satunya manuskrip historiografis yang ditemukan in situ di Sragen. Lebih dari sekadar historiografi, Kitab Haji Tabbri  sebenarnya juga merupakan rangkaian catatan peristiwa penting, termasuk sikap politik Haji Tabbri. Dari isi naskah kuno tersebut dapat menjadi sumber penulisan sejarah perjuangan ulama Islam dan mengetahui konteks situasi politik di kerajaan Surakarta saat itu, meliputi pula pegerakan jejaring ulama pengikut Pangeran Diponegoro.

Selain itu, naskah ini menjadi sumber penggalian pengetahuan tradisional masa lalu, karena di dalamnya memuat pula pengajaran perhitungan ilmu falaq/ perbintangan. Di beberapa bagian halaman terdapat iluminasi (gambar ilustrasi) sejenis rajah dan gambar pemandu untuk berbagai keperluan.  Naskah ini juga memuat informasi mengenai materi syiar Islam, amalan spiritual dan tasawuf kala itu yang dapat direplikasi untuk melayani kebutuhan umat Islam saat ini. (Saf)

Sumber: http://warisanbudaya.kemdikbud.go.id

Leave a comment

Name*

Website

Comment