Skip links

MENGENAL TEDHAK SITEN, TRADISI KELUARGA JAWA YANG EKSIS HINGGA KINI

Tedhak Siten merupakan tradisi yang masih bertahan hingga kini. Warisan leluhur masyarakat Jawa itu diadakan apabila keluarga Jawa memiliki bayi berusia tujuh atau delapan bulan. Dimana dalam hitungan pasaran Jawa, pada hari kelahiran bayi itu di bulan ketujuh kalender  Jawa, setara dengan delapan bulan kalender Masehi. Tedhak Siten biasa dikenal sebagai upacara turun tanah. Berasal dari kata ‘tedhak’ yang berarti turun dan ‘siten’ berasal dari kata ‘siti’ yang berarti tanah. Upacara tedhak siten dilakukan sebagai rangkaian acara yang bertujuan agar anak tumbuh menjadi anak yang mandiri. 

Baca juga: 21 MEI: HARI KERAGAMAN BUDAYA

Tradisi tersebut dilaksanakan sebagai penghormatan pada bumi tempat anak mulai belajar menginjakkan kakinya di tanah. Selain itu, Tedhak Siten diiringi doa dari orang tua dan sesepuh sebagai harapan agar kelak anak sukses menjalani kehidupannya. Prosesi tedhak siten dimulai pagi hari dengan serangkaian makanan tradisional untuk selamatan. Makanan tradisional tersebut berupa ‘jadah’ atau ’tetel’ sebanyak tujuh warna. Makanan ini terbuat dari beras ketan dicampur parutan kelapa muda dan ditumbuk hingga bercampur menjadi satu dan bisa diiris. Beras ketan tersebut diberi pewarna merah, putih, hitam, kuning, biru, jingga, dan ungu. Jadah ini menjadi simbol kehidupan bagi anak, sedangkan warna-warni yang diaplikasikan menggambarkan jalan hidup yang harus dilalui si bayi kelak. Penyusunan jadah ini dimulai dari warna hitam hingga ke putih, sebagai simbol bahwa masalah yang berat nantinya ada jalan keluar atau titik terang.

Baca juga: Gamelan Alat Musik sebagai Warisan Budaya Takbenda

Makanan tradisional lainnya yang disediakan untuk acara tedhak siten ini berupa tumpeng dan perlengkapannya serta ayam utuh. Tumpeng sebagai simbol permohanan orangtua agar si bayi kelak menjadi anak yang berguna. Sayur kacang panjang sebagai simbol umur panjang. Sayur kangkung sebagai simbol kesejahteraan. Kecambah sebagai simbol kesuburan, sedangkan ayam adalah simbol kemandirian. Rangkaian acara tedhak siten dilanjutkan dengan prosesi menapakkan kaki bayi di atas jadah tujuh warna, dilanjut dengan prosesi naik tangga. Tangga tradisional yang dibuat dari tebu jenis ‘arjuna’ yang dihiasi kertas warna-warni. Ritual ini melambangkan harapan agar si bayi memiliki sifat ksatria seperti Arjuna (tokoh pewayangan yang dikenal bertanggungjawab dan tangguh). Dalam bahasa Jawa ‘tebu’ merupakan kependekan dari ‘antebing kalbu’ yang bermakna kemantapan hati.

Prosesi selanjutnya yakni prosesi bayi tersebut dimasukkan ke dalam kurungan ayam yang telah dihias dengan kertas berwarna warni. Prosesi ini menyimbolkan kelak anak akan dihadapkan pada berbagai macam jenis pekerjaan. Prosesi itu dilakukan di dalam kurungan, tapi seringkali agar anak merasa lebih leluasa, prosesi selanjutnya dilakukan di luar kurungan. Bayi dihadapkan dengan beberapa barang untuk dipilih seperti cincin, uang, alat tulis, kapas, buku, cermin, pensil, mainan mobil-mobilan, dan lainnya.  Kemudian bayi dibiarkan mengambil salah satu dari barang. Barang yang dipilihnya merupakan gambaran hobi dan masa depannya kelak. Selanjutnya ditebarkan beras kuning (beras yang dicampur dengan parutan kunyit) yang telah dicampur dengan uang logam untuk diperebutkan oleh undangan anak-anak. Ritual ini dimaksudkan agar anak memiliki sifat dermawan.

Baca juga: Keris Indonesia (Warisan Budaya dengan Kekuatan Magisnya)

Rangkaian prosesi tedhak siten diakhiri dengan memandikan bayi ke dalam air bunga setaman dan dipakaikan baju baru. Prosesi pemakaian baju baru ini juga menyediakan tujuh baju yang akhirnya baju ketujuh yang akan ia pakai. Hal ini menyimbolkan pengharapan agar bayi selalu sehat, membawa nama harum bagi keluarga, hidup layak, makmur dan berguna bagi lingkungannya. (Saf)

Sumber & Gb. headline: warisanbudaya.kemdikbud.go.id

Leave a comment

Name*

Website

Comment