Skip links

Wayang Othok Obrol Kesenian Khas Wonosobo

Kesenian Wayang Othok Obrol merupakan kesenian khas Wonosobo, tepatnya di kawasan Selokromo, Kec. Leksono. Kata Othok Obrol (/uʈʊʔ ub̯rʊl/) digunakan dalam menggambarkan keadaan yang terkesan ‘kurang serius’, ‘seadanya’ atau ‘improvisatif’. Kosakata obrol juga disebut ‘bersenda gurau’ dalam Bahasa Indonesia. Wayang Othok Obrol ditampilkan oleh seorang dalang senior. Ki Makim Kartosudarmo sebagai generasi ke-6 dalang Othok Obrol keturunan Ki Wiradipa menuturkan, kesenian ini berkembang sejak era pemerintahan Sultan Agung di Mataram, yang mana dalang pertama wayang Othok Obrol adalah Ki Ganda Wiradipa dari Traji (Parakan, Temanggung). Lalu cucunya Ki Ganda Wirya mengembangkan karir pedalangan di kawasan Saragaten yang sekarang disebut Soroniten, Desa Perboto. Kawasan itu menjadi awal masuknya Wayang Othok Obrol di wilayah Kabupaten Wonosobo.

Baca juga: TARIAN SINTREN & MASYARAKAT JAWA

Wayang Othok Obrol mengacu pada wayang gagrag Kedu yang menjadi dasar rupa wayangnya. Menurut Ki Makim, wayang itu beda dari yang lain, karena tidak diciptakan dengan laku tatah-sungging manusia. Fisiknya berciri tua dan gemuk, sehingga terkesan ‘cebol’ dan memiliki wajah menunduk. Wayangnya diwarnai dengan pigmen alami, diantaranya dari gerusan tulang, biji gendhulak, jelaga, dan lainnya.

Kesenian ini juga dimainkan dengan gamelan seadanya, pada zaman dulu Wayang Othok Obrol dimainkan sambil mengobrol atau bersenda gurau.  Tak ada bonang, rebab, siter, atau seruling dalam iringan gamelan, bahkan tak ada sinden, namun musiknya justru terdengar meriah dengan imbalan saron dan kencer, yang seperti iringan gamelan bali.  Dalam adegan yang sifatnya khidmat, kesenian Wayang Othok Obrol menggunakan satu tabuh dengan teknik glenukan – gremengan (atau glenikan – grimingan) warisan Ki Ganda Wiragaru, putra Ki Ganda Wiradipa. Konon, penyederhanaan ini berawal ketika Ki Wiragaru merekrut para niyaga dari kaum petani yang tidak biasa menabuh gamelan. Perpaduan antara wayang kulit dengan keawaman penabuh inilah yang kemudian melahirkan Othok Obrol, gagrag yang terkesan kurang serius, penuh ‘obrol’, namun tetap nikmat dalam keterbatasannya.

Baca juga: Apa Itu Gambang Semarang?

Lakon Wayang Obrol tidak berat untuk dinikmati. Seperti halnya Wayang Purwa, Wayang Othok Obrol membawakan kisah dari Mahabarata dan Ramayana, dengan lakon-lakon carangan seperti Murti SeratRaja KèngsiAndhaliretna, atau yang familiar dengan selera rakyat seperti Semar Supit dan Semar Cukur. Lakon yang merakyat dan ringan, tapi bermakna inilah yang sempat membuat Wayang Othok Obrol populer di Wonosobo. Terlebih, biaya operasionalnya cukup terjangkau karena hanya membutuhkan satu dalang dan delapan niyaga, tanpa sinden.

Baca juga: Pencak Silat sebagai Tradisi Bangsa

Berdasarkan deskripsi di laman warisanbudaya.kemdikbud.go.id, popularitas kesenian Wayang Othok Obrol meredup seiring dengan arus globalisasi yang ada. Tak hanya budaya pop, media seperti radio tape dan televisi juga mendongkrak popularitas wayang gagrag lain, seperti Surakartan dan Banyumasan yang penuh inovasi. Sebaliknya, Wayang Othok Obrol dinilai terlalu pakem dan tidak mampu menyesuaikan tuntutan zaman, sehingga perlahan kehilangan pasarnya. Warisan pedalangan yang telah bertahan selama enam generasi ini terancam tidak ada penerusnya, sebab dalam menjaga tradisi, calon dalang Othok Obrol harus menghadapi godaan gagrag lain yang lebih populer. Sehingga salah satu cara melestarikan kesenian ini melalui dokumentasi tentang Wayang Othok Obrol. (Saf)

Sumber:

Gb.headline warisanbudaya.kemdikbud.go.id

warisanbudaya.kemdikbud.go.id

Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kab. Wonosobo

Leave a comment

Name*

Website

Comment